Tepuk tangan membahana di ruang pertemuan Gedung Bedah Pusat Terpadu (GBPT) RSU Dr.Soetomo, ketika dr.Muhammad Sjaifuddin Noer memasuki ruangan itu melalui pintu samping. Puluhan orang yang hadir, mulai pengunjung RS, dokter muda, mahasiswa kedokteran Universitas Airlangga hingga wartawan tak henti-henti menyapa dokter berusia 59 tahun itu.
"Wah, semua melihat prosesnya kan, kita sudah mulai melakukan penyayatan wajah Lisa," kata Dr.Din mengawali penjelasan proses operasi "face off" dengan sistem free flap (penyambungan pembuluh darah) pertama di Indonesia, pada pasien Siti Nur Jazillah (Lisa). Dalam proses itu, seluruh wajah Lisa diangkat dan diganti dengan kulit pungung.
Dokter tiga anak ini segera duduk di antara pengunjung dan bersama-sama menyaksikan jalannya operasi "face off" melalui layar monitor. Dengan teliti, Dr.Din menjelaskan detail langkah operasi yang dilakukan. "Oke, saya harus kembali ke ruang operasi untuk melanjutkan pekerjaan saya," katanya.
Begitulah penggalan peristiwa pelaksanaan operasi "face off" Selasa (28/04) lalu. Dalam operasi yang keseluruhan berlangsung selama 18 jam itu pun akhirnya berakhir sukses. Wajah Lisa yang cacat karena diduga disiram oleh suaminya, Mulyono, itu pun berhasil diganti dengan kulit punggungnya. Penyambungan pembuluh darah, sebagai bagian paling sulit dari operasi ini pun tidak menemui kendala berarti.
Dr.Muhammad Sjaifuddin Noer adalah sosok penting dalam kesuksesan operasi ini, karena dokter kelahiran Bangkalan, Madura ini tak lain adalah ketua dari tim dokter "face off". "Semua ini adalah keberhasilan seluruh anggota tim dokter dengan doa dari seluruh masyarakat," katanya merendah.
Dalam dunia medis, Dr.Din memang bukan orang "kemarin sore". Namanya mulai dikenal ketika anak mantan Gubernur Jawa Timur Muhammad Noer ini terpilih sebagai salah satu dokter bedah yang mengikuti training aestetic surgery di Pattaya Thailand pada tahun 1984. Juga ketika di tahun 1992 berangkat ke China untuk menjalani training tissue bank dan dua tahun kemudian berangkat ke Australia untuk mengikuti training bedah plastik.
Sosok yang pernah menjabat sebagai Ketua Bank Jaringan di RSU. Dr.Soetomo ini semakin melambung ketika dia menjadi salah satu anggota tim penanganan korban bom Bali di tahun 2002. "Sudah tidak terhitung lagi operasi plastik yang pernah saya lakukan," kata anggota tim penanganan operasi bayi kembar ini.
Ketertarikan ayah tiga anak ini dalam dunia operasi plastik berawal dari masa kuliahnya di Fakultas Kedokteran Unair pada tahun 1975. "Ada faktor art dalam bedah plastik itu, dibandingkan bedah yang lain," katanya. Karena itulah, Ia memilih untuk mengambil pendidikan dokter spesialis bedah dan melanjutkannya pada pendidikan bedah plastik hingga lulus di tahun 1987.
Julukan ahli bedah plastik pun melekat pada Dr. Din. Tidak tanggung-tanggung joke di kalangan dokter RSU Dr. Soetomo mengatakan Dr. Din bisa melakukan operasi perbaikan hidung hanya dalam waktu 10 menit. Suami Drg. Rina Banarsari ini hanya tersenyum mendengarnya. Tak salah bila dalam operasi "face off" ini, dokter penggemar musik dangdut ini didapuk sebagai ketua tim dokter. "Motif kemanusiaan adalah yang utama dalam operasi "face off" ini," katanya.
Keibaan pada Lisa muncul ketika Dr. Din bertemu dengan wanita asal Malang, Jawa Timur itu 24 Januari 2006 lalu. Ketika itu, Lisa mengeluh lubang hidung kanannya selalu buntu bila dia terserang flu. "Melihat kondisinya, dokter menawarkan operasi wajah setelah dibahas dalam workshop, Lisa mau, jadwal operasi pun ditetapkan," kenangnya.
Sejak awal. Dr.Din meyakini keberhasilan operasi ini. Karena pada tahun 1997, operasi serupa pernah digelar di Argentina. Keyakinan itu seakan mengabaikan sisi biaya yang konon mencapai nilai setengah milyar rupiah. "Biaya sama sekali tidak jadi pertimbangan, Alhamdulillah, akhirnya Pemerintah Propinsi Jawa Timur membantu melalui Rumah Sakit," katanya.
Tidak hanya itu, beberapa organisasi masyarakat pun memberikan sumbangan. "Saya tidak menyangka respon masyarakat bisa sebesar ini, atas nama tim dokter, saya mengucapkan banyak terima kasih," katanya.
Setelah melalui berbagai analisa dan perencanaan matang, operasi "face off" yang sempat diundur pelaksanaannya itupun digelar. Semua terjadi sesuai perencanaan tanpa kendala berarti. Kelelahan pasca 18 jam operasi, mulai pagi hingga pagi lagi yang dilakukan oleh puluhan tim dokter itu pun tidak terasa. Wajah Lisa yang porak-poranda pun berganti dengan kulit baru.
Sejarah yang tertoreh di Surabaya direspon positif oleh beberapa pihak. Menteri Kesehatan RI Fadillah Supari bahkan sempat menangis ketika mengunjungi RSU Dr.Soetomo dan menyaksikan keberhasilan operasi itu. "Saya bisa merasakan, betapa berharganya wajah bagi seorang wanita, tim dokter yang berkerja tanpa pamrih adalah sesuatu yang langka," kata Siti Fadillah di sela tangisannya.
Meski operasi "face off" sudah berlangsung, semua beban yang ada dipundak Dr. Din belum sepenuhnya hilang. "Masih ada kemungkinan ancaman infeksi kuman pada Lisa dari berbagai tempat, itu yang harus kita jaga," katanya. "Tapi semua harus kita jalani demi catatan sejarah medis di Indonesia".***
Blog Archive
Wednesday, April 12, 2006
Monday, April 10, 2006
Sirikit Syah Yang Kontroversial
Tumpukan koran dan buku-buku berserak di samping komputer di atas meja kerja Sirikit Syah, ketika The Jakarta Post menemuinya di kantor redaksi Surabaya Post, Senin (03/04) sore ini. Di sampingnya berjajar buku-buku yang tertata rapi di dalam lemari kaca, membuat ruang kerja di lantai dua rumah toko (ruko) itu tampak padat. Apalagi, ruangan berukuran 3x5 m itu juga ditempati sekretaris redaksi. Dari ruangan sederhana itu, Sirikit Syah yang pada 28 Juli mendatang tepat berusia 46 tahun itu bekerja sebagai pemimpin redaksi.
Di Jawa Timur, nama Sirikit Syah tidak bisa dilepaskan dari dunia komunikasi. Sejak tahun 1984 perempuan kelahiran Surabaya tahun 1960 itu mulai berkarier di dunia komunikasi sebagai wartawan Surabaya Post. Hingga dirinya menyatakan berhenti enam tahun kemudian dan bekerja sebagai koresponden RCTI dan SCTV untuk wilayah Jawa Timur dan Indonesia Timur. "Saya selalu ingin mengembangkan karier saya di dunia komunikasi di berbagai media," kata penerima fellowship dari Nihon Shimbun Kyokai (NSK) Jepang tahun 1988 dan Hubert H. Humphrey Foundation di tahun 1994 ini.
Atas alasan itu juga, sejak 1996-2000 perempuan yang selalu mengenakan jilbab ini bekerja di The Jakarta Post sembari membangun sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Media Watch. Sebuah LSM yang secara khusus bekerja mengamati sepak terjang pers. Tidak hanya itu, Sirikit juga aktif menjadi penggerak "peace journalism" di Jawa Timur. "Saya melihat, euforia kebebasan pers harus dikendalikan, karena itu saya dan teman-teman yang memiliki ide yang sama membuat Media Watch," katanya.
Menjadi Watch dog pers dalam Media Watch seperti sebuah pisau bermata dua bagi perempuan asli Surabaya ini. Pada satu sisi, dirinya "dipuja" karena dinilai bisa melindungi masyarakat dari kebebasan pers yang ketika itu terkesan tidak terkontrol. Namun di sisi lain, Sirikit pun dicap sebagai sosok yang "sok tahu" karena sering kali mengkritik media massa tanpa memberi solusi yang jelas. Apalagi, kritikan itu tidak mampu merubah budaya pers yang ketika itu sering kali melanggar kode etiknya. Melalui Media Watch inilah Sirikit memperoleh penghargaan dari lembaga asal Jepang, Ashoka di tahun 2002.
Dua hal itu tidak membuat Wakil Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS) itu berhenti berkiprah. Tahun 2004, Sirikit Syah didaulat menjadi Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur dengan tugas utama meregulasi semua hal yang berkaitan dengan dunia broadcasting di Jawa Timur. "Awalnya, saya memperkirakan bisa bertahan selama dua periode di KPID, tapi ternyata saya salah, KPID menjadi sejarah hitam saya," katanya.
Memang, Jawa Timur bisa dinilai sebagai daerah yang paling kacau dalam hal regulasi frekuensi. Fungsi KPID sebagai regulator pun tidak berjalan. Puluhan radio gelap dan televisi tidak berizin muncul. "Semua orang tahu, ada orang-orang di KPID yang justru memanfaatkan situasi dengan menjualbelikan frekuensi, hal itu tidak bisa saya cegah karena ketika itu sistem yang mengatur tidak ada," kilahnya.
Sirikit yang berniat mengatur dengan tegas pun teralieniasi. Bahkan, dirinya pun "dimusuhi" oleh komunitas broadcast, terutama kalangan radio di kota-kota kecil di Jawa Timur. Kondisi itu memaksanya mundur dari KPID. KPID Jawa Timur pun dibubarkan. "Saya tidak menyalahkan pihak yang miskomunikasi dengan Saya menyangkut KPID, tapi jujur saja, Saya tidak bisa bekerja dalam sistem yang korup seperti itu," katanya.
Di skala nasional, nama Sirikit pun identik dengan hal-hal yang berbau kontroversial. Terutama di dunia mailing list internet, sosok yang acapkali memperoleh beasiswa ke luar negeri ini seringkali melempar opini yang "melawan arus". Salah satunya adalah pembelaan Sirikit pada TNI dalam kasus di Nanggroe Aceh Darrusalam. "Tidak ada sedikit pun keinginan saya untuk mengecilkan arti sejarah saudara kita di Aceh, tapi saya tidak ingin bangsa ini menjadi bangsa yang dibangun di atas dendam," katanya.
Begitu juga dalam kasus penyerangan redaksi Majalah Tempo oleh sekelompok massa pembela pengusaha Tommy Winata. Dalam dua buah artikel yang dimuat di Harian Kompas dan Harian Surya, Sirikit memilih untuk memojokkan berita yang dimuat Tempo. "Hasil analisa yang Saya lakukan, dalam frame teori ilmu komunikasi memang berita di majalah Tempo itu yang memicu penyerangan. Saya sama sekali tidak membela penyerang, saya hanya menjelaskan dalam kerangka teori komunikasi," tegasnya.
Ketegaran Sirikit dalam bersikap berangkat dari keinginan perempuan lulusan West Minster University tahun 2002 ini untuk selalu menyuarakan hati nuraninya. "Bila hati nurani saya berbicara 'a', saya berusaha untuk mengatakan 'a', meski itu tidak populer," katanya. Semangat itu coba diterapkan dalam pola kepemimpinannya di Harian Sore Surabaya Post, sejak 1 April 2006 lalu. "Saya sadar, Surabaya Post adalah koran legendaris, justru itu yang membuat Saya bersedia untuk memimpinnya, kalau bukan Surabaya Post, mungkin Saya tolak," katanya.
Surabaya Post adalah koran yang didirikan pertama kali oleh Almarhum A.Azis dan istrinya Almarhumah Misoetin Agoesdina (Atoety Azis) pada 1 April 1953. Selama bertahun-tahun koran sore pertama di Jawa Timur ini menguasai khasanah pers di Jawa Timur. Hingga akhirnya tutup secara mengenaskan pada 22 Juli 2002 karena ada kesalahan manajemen. Hingga pada tahun 2003 kembali didirikan oleh Forum Karyawan Surabaya Post (FKSP).
Meskipun secara fisik Surabaya Post "baru" hadir dengan format baru yang lebih kecil, namun tidak ada perubahan dalam isi dan karakter jurnalistik "santun" ala Surabaya Post "lama". "Hal itu yang ingin kami pertahankan, Surabaya Post tetap hadir sebagai harian sore dengan menawarkan kesantunan jurnalistik," kata Sirikit. Meski begitu, Sirikit menyadari upaya membangkitkan koran yang pernah mencapai tiras ratusan ribu eksemplar dengan omset Rp.9 miliar (Buku: Di Balik Runtuhnya Surabaya Post) ini bukan hal yang mudah.
Strategi yang akan diterapkan adalah kembali menjadikan Harian Sore Surabaya Post sebagai koran yang benar-benar menyajikan berita lokal yang terjadi sepanjang siang. "Menjaga lokalitas dan menyajikan berita yang terjadi dini dan siang hari adalah hal yang paling utama," katanya.***
Di Jawa Timur, nama Sirikit Syah tidak bisa dilepaskan dari dunia komunikasi. Sejak tahun 1984 perempuan kelahiran Surabaya tahun 1960 itu mulai berkarier di dunia komunikasi sebagai wartawan Surabaya Post. Hingga dirinya menyatakan berhenti enam tahun kemudian dan bekerja sebagai koresponden RCTI dan SCTV untuk wilayah Jawa Timur dan Indonesia Timur. "Saya selalu ingin mengembangkan karier saya di dunia komunikasi di berbagai media," kata penerima fellowship dari Nihon Shimbun Kyokai (NSK) Jepang tahun 1988 dan Hubert H. Humphrey Foundation di tahun 1994 ini.
Atas alasan itu juga, sejak 1996-2000 perempuan yang selalu mengenakan jilbab ini bekerja di The Jakarta Post sembari membangun sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Media Watch. Sebuah LSM yang secara khusus bekerja mengamati sepak terjang pers. Tidak hanya itu, Sirikit juga aktif menjadi penggerak "peace journalism" di Jawa Timur. "Saya melihat, euforia kebebasan pers harus dikendalikan, karena itu saya dan teman-teman yang memiliki ide yang sama membuat Media Watch," katanya.
Menjadi Watch dog pers dalam Media Watch seperti sebuah pisau bermata dua bagi perempuan asli Surabaya ini. Pada satu sisi, dirinya "dipuja" karena dinilai bisa melindungi masyarakat dari kebebasan pers yang ketika itu terkesan tidak terkontrol. Namun di sisi lain, Sirikit pun dicap sebagai sosok yang "sok tahu" karena sering kali mengkritik media massa tanpa memberi solusi yang jelas. Apalagi, kritikan itu tidak mampu merubah budaya pers yang ketika itu sering kali melanggar kode etiknya. Melalui Media Watch inilah Sirikit memperoleh penghargaan dari lembaga asal Jepang, Ashoka di tahun 2002.
Dua hal itu tidak membuat Wakil Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS) itu berhenti berkiprah. Tahun 2004, Sirikit Syah didaulat menjadi Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur dengan tugas utama meregulasi semua hal yang berkaitan dengan dunia broadcasting di Jawa Timur. "Awalnya, saya memperkirakan bisa bertahan selama dua periode di KPID, tapi ternyata saya salah, KPID menjadi sejarah hitam saya," katanya.
Memang, Jawa Timur bisa dinilai sebagai daerah yang paling kacau dalam hal regulasi frekuensi. Fungsi KPID sebagai regulator pun tidak berjalan. Puluhan radio gelap dan televisi tidak berizin muncul. "Semua orang tahu, ada orang-orang di KPID yang justru memanfaatkan situasi dengan menjualbelikan frekuensi, hal itu tidak bisa saya cegah karena ketika itu sistem yang mengatur tidak ada," kilahnya.
Sirikit yang berniat mengatur dengan tegas pun teralieniasi. Bahkan, dirinya pun "dimusuhi" oleh komunitas broadcast, terutama kalangan radio di kota-kota kecil di Jawa Timur. Kondisi itu memaksanya mundur dari KPID. KPID Jawa Timur pun dibubarkan. "Saya tidak menyalahkan pihak yang miskomunikasi dengan Saya menyangkut KPID, tapi jujur saja, Saya tidak bisa bekerja dalam sistem yang korup seperti itu," katanya.
Di skala nasional, nama Sirikit pun identik dengan hal-hal yang berbau kontroversial. Terutama di dunia mailing list internet, sosok yang acapkali memperoleh beasiswa ke luar negeri ini seringkali melempar opini yang "melawan arus". Salah satunya adalah pembelaan Sirikit pada TNI dalam kasus di Nanggroe Aceh Darrusalam. "Tidak ada sedikit pun keinginan saya untuk mengecilkan arti sejarah saudara kita di Aceh, tapi saya tidak ingin bangsa ini menjadi bangsa yang dibangun di atas dendam," katanya.
Begitu juga dalam kasus penyerangan redaksi Majalah Tempo oleh sekelompok massa pembela pengusaha Tommy Winata. Dalam dua buah artikel yang dimuat di Harian Kompas dan Harian Surya, Sirikit memilih untuk memojokkan berita yang dimuat Tempo. "Hasil analisa yang Saya lakukan, dalam frame teori ilmu komunikasi memang berita di majalah Tempo itu yang memicu penyerangan. Saya sama sekali tidak membela penyerang, saya hanya menjelaskan dalam kerangka teori komunikasi," tegasnya.
Ketegaran Sirikit dalam bersikap berangkat dari keinginan perempuan lulusan West Minster University tahun 2002 ini untuk selalu menyuarakan hati nuraninya. "Bila hati nurani saya berbicara 'a', saya berusaha untuk mengatakan 'a', meski itu tidak populer," katanya. Semangat itu coba diterapkan dalam pola kepemimpinannya di Harian Sore Surabaya Post, sejak 1 April 2006 lalu. "Saya sadar, Surabaya Post adalah koran legendaris, justru itu yang membuat Saya bersedia untuk memimpinnya, kalau bukan Surabaya Post, mungkin Saya tolak," katanya.
Surabaya Post adalah koran yang didirikan pertama kali oleh Almarhum A.Azis dan istrinya Almarhumah Misoetin Agoesdina (Atoety Azis) pada 1 April 1953. Selama bertahun-tahun koran sore pertama di Jawa Timur ini menguasai khasanah pers di Jawa Timur. Hingga akhirnya tutup secara mengenaskan pada 22 Juli 2002 karena ada kesalahan manajemen. Hingga pada tahun 2003 kembali didirikan oleh Forum Karyawan Surabaya Post (FKSP).
Meskipun secara fisik Surabaya Post "baru" hadir dengan format baru yang lebih kecil, namun tidak ada perubahan dalam isi dan karakter jurnalistik "santun" ala Surabaya Post "lama". "Hal itu yang ingin kami pertahankan, Surabaya Post tetap hadir sebagai harian sore dengan menawarkan kesantunan jurnalistik," kata Sirikit. Meski begitu, Sirikit menyadari upaya membangkitkan koran yang pernah mencapai tiras ratusan ribu eksemplar dengan omset Rp.9 miliar (Buku: Di Balik Runtuhnya Surabaya Post) ini bukan hal yang mudah.
Strategi yang akan diterapkan adalah kembali menjadikan Harian Sore Surabaya Post sebagai koran yang benar-benar menyajikan berita lokal yang terjadi sepanjang siang. "Menjaga lokalitas dan menyajikan berita yang terjadi dini dan siang hari adalah hal yang paling utama," katanya.***
DR.Ayu Sutarto Adalah Pahlawan Budaya
Dari luar, rumah sederhana di Jl. Sumatera VI no.35 Jember, Jawa Timur itu tampak sederhana. Selasar depan rumah itu pun sempit, hanya seluas tempat parkir dua sepeda motor. Di tembok kanan atas terpasang plakat bertuliskan "Kelompok Peduli Budaya dan Wisata Daerah-Kompyawisda", sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang concern terhadap kebudayaan dan pariwisata di Jawa Timur.
Di tempat itulah, DR.Ayu Sutarto, budayawan yang juga dosen Fakultas Sastra di Universitas Jember ini membangun "bengkel" budayanya. "Inilah bengkel sederhana saya, tempat saya dan teman-teman Kompyawisda bekerja, dan berdiskusi persoalan budaya Jawa Timur yang belakangan mulai terkikis oleh modernisasi," katanya pada The Jakarta Post yang menemuinya, Senin (06/03) malam lalu.
Sosok Pak Ayu, begitu dia biasa dipanggil, tidak bisa dilepaskan dari sektor pembangunan kebudayaan di provinsi paling timur di Pulau Jawa Ini. Sejak tahun 80-an, laki-laki kelahiran Pacitan 21 September 1949 ini sudah berkecimpung dalam kerja advokasi budaya. Hal itu terlihat dari bukunya berjudul The Legends of Madura (1985).
Bagaikan gelombang pasang yang terus bergulung, puluhan buku-buku budaya berbau Jawa Timur karya Ayu Sutarto pun terus terbit. Seperti Sudirman: A Simple Man, A Great General (1986), Queen Kilisuci: A Stories of Reog (1988), Kamus Khusus Inggris-Indonesia (1990) hingga Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam dan Indonesia.
"Karya-karya kecil seperti buku-buku saya itu diterbitkan oleh berbagai penerbit seperti PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, Balai Pustaka hingga penerbit Universitas Jember," kenangnya.
Puncak dari kedekatan Ayu Sutarto pada budaya adalah ketika tahun dirinya memilih Suku Tengger Gunung Bromo sebagai bahan disertasi program doktornya di Universitas Indonesia. Selama lima tahun laki-laki yang pernah memperoleh beasiswa ILDEP di Universitas Leiden Belanda itu tinggal di lereng Gunung Bromo. "Cum Laude saya ini juga milik masyarakat Tengger Bromo," katanya.
Hasil penelitian itu juga yang akhirnya menyabet juara pertama Pemilihan Naskah Bidang Humaniora yang diselenggarakan oleh PT. Balai Pustaka Jakarta di tahun 1997. Sekaligus menerbitkan sebuah buku berjudul Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang (1997).
Pergumulan dengan Kondisi budaya Jawa Timur selama bertahun-tahun, membuat Ayu Sutarto memahami seluk beluk budaya khususnya di Jawa Timur yang seringkali diperlakukan dengan tidak adil. Ketidakadilan itu laksana pelecut semangatnya untuk terus membela kebudayaan. "Banyak sekali kebijakan pemerintah yang justru tidak memperhatikan sisi kebudayaan, hal itu menciptakan masalah baru yang lebih kompleks dan lebih sulit untuk diselesaikan," tegas mantan pengajar Bahasa Jawa orang Suriname di Rotterdam ini.
Ayu Sutarto mencontohkan program Revolusi Hijau yang dilaksakan pada saat Orde Baru. Dalam program yang pada intinya meningkatkan hasil panen pertanian dengan menggalakkan penggunaan bibit unggul dan pupuk buatan pabrik itu di satu sisi menguntungkan petani dalan persoalan ekonomi. Namun di sisi yang lain, program itu menciptakan ketidakmandirian petani. Terutama adalah ketergantungan petani pada bibit unggul dan pupuk pabrikan.
Dan pada ujungnya, ketika harga bibit unggul dan pupuk meningkat karena terimbas persoalan ekonomi global, petani pun ikut sengsara. Sialnya, petani pun tidak terbiasa menggunakan bibit alami dan pupuk organik yang biasa digunakan."Seharusnya tidak seperti itu, kalau pemerintah memahami persoalan kebudayaan, karena harga soaial yang harus dibayar terlalu mahal," tegas sosok yang masuk sebagai 15 dosen berprestasi tingkat nasional ini.
Bila pemerintah mau memahami kebudayaan, justru karakter tiap masyarakat, khususnya di Jawa Timur bisa digunakan sebagai upaya mendorong pembangunan yang "berbasis kebudayaan." Ayu mencontohkan Jawa Timur, provinsi yang menurut Ayu memiliki 10 wilayah kebudayaan. Jawa Mataraman (sekitar kota Kediri), Jawa Panaragan (sekitar kota Ponorogo) , Arek (sekitar kota Surabaya), Samin (sekitar kota Bojonegoro), Tengger (sekitar Gunung Bromo), Osing (sekitar kota Banyuwangi), Pandalungan (sekitar kota Jember), Madura Pulau, Madura Bawean (Pulau Bawean) dan Madura Kangean.
Masing-masing kelompok kebudayaan itu memiliki karakter yang bisa digunakan sebagai "klik" dari pembangunan. "Masyarakat Tengger yang berkarakter menghargai alam dalam dunia pertanian misalnyabisa dijadikan contoh proyek pertanian yang unggul tanpa ketergantungan pada bahan-bahan pabrik," kata Ayu.
Sayangnya, Ayu Sutarto tidak melihat adanya gejala dari pemerintahan kali ini untuk memahami sisi kebudayaan. Hal itu terlihat dari masih senangnya pemerintahan kota-kota di seluruh Indonesia membangun mall dengan alasan modernisasi daripada mendorong kegiatan masyarakat yang berprespektif kesenian.
"Mall banyak tumbuh, menggusur ruang-ruang hijau, bahkan alun-alun kota yang seharusnya berfungsi sebagai sarana pembangunan budaya pun berubah menjadi tempat pedagang sampai waria menjajakan diri," katanya.***
Di tempat itulah, DR.Ayu Sutarto, budayawan yang juga dosen Fakultas Sastra di Universitas Jember ini membangun "bengkel" budayanya. "Inilah bengkel sederhana saya, tempat saya dan teman-teman Kompyawisda bekerja, dan berdiskusi persoalan budaya Jawa Timur yang belakangan mulai terkikis oleh modernisasi," katanya pada The Jakarta Post yang menemuinya, Senin (06/03) malam lalu.
Sosok Pak Ayu, begitu dia biasa dipanggil, tidak bisa dilepaskan dari sektor pembangunan kebudayaan di provinsi paling timur di Pulau Jawa Ini. Sejak tahun 80-an, laki-laki kelahiran Pacitan 21 September 1949 ini sudah berkecimpung dalam kerja advokasi budaya. Hal itu terlihat dari bukunya berjudul The Legends of Madura (1985).
Bagaikan gelombang pasang yang terus bergulung, puluhan buku-buku budaya berbau Jawa Timur karya Ayu Sutarto pun terus terbit. Seperti Sudirman: A Simple Man, A Great General (1986), Queen Kilisuci: A Stories of Reog (1988), Kamus Khusus Inggris-Indonesia (1990) hingga Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam dan Indonesia.
"Karya-karya kecil seperti buku-buku saya itu diterbitkan oleh berbagai penerbit seperti PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, Balai Pustaka hingga penerbit Universitas Jember," kenangnya.
Puncak dari kedekatan Ayu Sutarto pada budaya adalah ketika tahun dirinya memilih Suku Tengger Gunung Bromo sebagai bahan disertasi program doktornya di Universitas Indonesia. Selama lima tahun laki-laki yang pernah memperoleh beasiswa ILDEP di Universitas Leiden Belanda itu tinggal di lereng Gunung Bromo. "Cum Laude saya ini juga milik masyarakat Tengger Bromo," katanya.
Hasil penelitian itu juga yang akhirnya menyabet juara pertama Pemilihan Naskah Bidang Humaniora yang diselenggarakan oleh PT. Balai Pustaka Jakarta di tahun 1997. Sekaligus menerbitkan sebuah buku berjudul Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang (1997).
Pergumulan dengan Kondisi budaya Jawa Timur selama bertahun-tahun, membuat Ayu Sutarto memahami seluk beluk budaya khususnya di Jawa Timur yang seringkali diperlakukan dengan tidak adil. Ketidakadilan itu laksana pelecut semangatnya untuk terus membela kebudayaan. "Banyak sekali kebijakan pemerintah yang justru tidak memperhatikan sisi kebudayaan, hal itu menciptakan masalah baru yang lebih kompleks dan lebih sulit untuk diselesaikan," tegas mantan pengajar Bahasa Jawa orang Suriname di Rotterdam ini.
Ayu Sutarto mencontohkan program Revolusi Hijau yang dilaksakan pada saat Orde Baru. Dalam program yang pada intinya meningkatkan hasil panen pertanian dengan menggalakkan penggunaan bibit unggul dan pupuk buatan pabrik itu di satu sisi menguntungkan petani dalan persoalan ekonomi. Namun di sisi yang lain, program itu menciptakan ketidakmandirian petani. Terutama adalah ketergantungan petani pada bibit unggul dan pupuk pabrikan.
Dan pada ujungnya, ketika harga bibit unggul dan pupuk meningkat karena terimbas persoalan ekonomi global, petani pun ikut sengsara. Sialnya, petani pun tidak terbiasa menggunakan bibit alami dan pupuk organik yang biasa digunakan."Seharusnya tidak seperti itu, kalau pemerintah memahami persoalan kebudayaan, karena harga soaial yang harus dibayar terlalu mahal," tegas sosok yang masuk sebagai 15 dosen berprestasi tingkat nasional ini.
Bila pemerintah mau memahami kebudayaan, justru karakter tiap masyarakat, khususnya di Jawa Timur bisa digunakan sebagai upaya mendorong pembangunan yang "berbasis kebudayaan." Ayu mencontohkan Jawa Timur, provinsi yang menurut Ayu memiliki 10 wilayah kebudayaan. Jawa Mataraman (sekitar kota Kediri), Jawa Panaragan (sekitar kota Ponorogo) , Arek (sekitar kota Surabaya), Samin (sekitar kota Bojonegoro), Tengger (sekitar Gunung Bromo), Osing (sekitar kota Banyuwangi), Pandalungan (sekitar kota Jember), Madura Pulau, Madura Bawean (Pulau Bawean) dan Madura Kangean.
Masing-masing kelompok kebudayaan itu memiliki karakter yang bisa digunakan sebagai "klik" dari pembangunan. "Masyarakat Tengger yang berkarakter menghargai alam dalam dunia pertanian misalnyabisa dijadikan contoh proyek pertanian yang unggul tanpa ketergantungan pada bahan-bahan pabrik," kata Ayu.
Sayangnya, Ayu Sutarto tidak melihat adanya gejala dari pemerintahan kali ini untuk memahami sisi kebudayaan. Hal itu terlihat dari masih senangnya pemerintahan kota-kota di seluruh Indonesia membangun mall dengan alasan modernisasi daripada mendorong kegiatan masyarakat yang berprespektif kesenian.
"Mall banyak tumbuh, menggusur ruang-ruang hijau, bahkan alun-alun kota yang seharusnya berfungsi sebagai sarana pembangunan budaya pun berubah menjadi tempat pedagang sampai waria menjajakan diri," katanya.***
Deddy Prihambudi dan Penegakan HAM
Tidak seperti biasanya, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Deddy Prihambudi yang dikenal selalu meledak-ledak bila berbicara ini mendadak diam sesaat. Kening pria keturunan Jombang Jawa Timur ini berkerut. Matanya memicing. "Persoalan HAM di Indonesia memang rumit, pemerintah masih ambigu dalam persoalan ini," kata Deddy kepada The Jakarta Post Kamis (07/12) ini di Surabaya.
Meski dirinya enggan disebut sebagai pejuang HAM, namun sosok Deddy Prihambudi tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan HAM di Jawa Timur. Bagaimana tidak, pria kelahiran Jember, Jawa Timur ini sudah berkecimpung dalam dunia perjuangan HAM sejak dirinya menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang era 80-an.
Bersama kawan-kawan seangkatan dan kakak kelasnya, termasuk (Alm) Munir, Deddy banyak melakukan diskusi terbatas menyangkut persoalan HAM dan Hukum yang di era Orde Baru sering kali dilanggar. "Pergolakan masyarakat dalam kasus tanah masyarakat Nipah, Madura selalu saya kenang. Itu kasus besar yang saya tangani sebelum menjadi pengacara," kenangnya pada The Jakarta Post.
Ketika itu, pemilik tubuh tinggi besar ini baru saja lulus dari FH Unibraw dan langsung bergabung sebagai relawan LBH Surabaya, Cabang Malang di tahun 90-an, bersama (alm) Munir. Hal itu adalah awal Kecintaannya pada dunia perjuangan hukum dan HAM, meski "memaksanya" semakin jauh terlihat aktifitas di LBH Surabaya.
Sosok Deddy dalam perjuangan HAM pun semakin tampak ketika tragedi tewasnya aktivis buruh Marsinah terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur di tahun 1993. Bersama Munir, Deddy melakukan investigasi kasus yang hingga saat ini menjadi simbol perjuangan buruh di Indonesia itu. "Kami bergerilya di Sidoarjo, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Marsinah," katanya.
Teror dan ancaman bagaikan menu sehari-hari bagi Deddy. Apalagi ketika semakin lama, temuan Tim LBH Surabaya semakin mengerucut pada keterlibatan aparat keamanan dalam kasus Marsinah. "Sudah tidak terhitung, berapa kali teror itu saya rasakan," kenangnya. Meski akhirnya, sejarah mencatat kasus Marsinah tidak pernah tuntas hingga saat ini. "Ini adalah pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia, karena dengan bukti-bukti yang begitu gamblang pun, kasus marsinah ini tidak bisa selesai," katanya serius.
Meletusnya peristiwa menculikan aktivis mahasiswa pasca penyerangan Kantor DPP PDIP tahun 1996 direson oleh LBH Surabaya. Deddy menjadi bagian dari Tim Pembela Hukum para aktifis itu. Meski perjuangan mereka kandas, karena para aktivis itu tetap dipenjarakan. Nama Deddy terus melambung, dan dipercaya menjadi Direktur LBH Surabaya selama dua periode di tahun 2001-2003 dan 2003-sekarang.
Bagi penganut Islam taat ini, runtuhnya Orde Baru di bawah Soeharto hingga saat ini tidak menunjukkan adanya perubahan perlakukan HAM. "Di jaman Soeharto, pelanggaran HAM acapkali dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan tangan militer, tapi kini justru mulai tampak kombinasi masyarakat-militer sebagai pelanggar HAM," ujarya.
Hal itu bisa dilihat dari semakin seringnya masyarakat yang terbagi dalam kelompok-kelompok kecil melakukan pelanggaran HAM. "Dalam kasus penodaan agama misalnya, masyarakat dengan terbuka bisa menghakimi pelaku, dan aparat hukum sipil seperti polisi, kejaksaan dan kehakiman tidak berdaya menangani hal itu," jelasnya.
Sementara, belakangan ini sudah muncul laporan ke LBH Surabaya tentang adanya kelompok militer di tingkat teritorial, seperti Babinsa dan Koramil yang mengambil peran polisi. "Sudah mulai terjadi, Babinsa dan Koramil bertanya soal perizinan, apa tugas mereka kembali seperti itu," katanya.
Secara nasional, pun kondisinya tidak jauh berbeda. Meski secara pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tergolong welcome dengan gerakan penegakan HAM, tapi justru ada kelompok lain yang tidak ingin penegakan HAM dilakukan. Deddy mencontohkan kasus kematian Aktivis HAM Munir.
"Dialog yang dilakukan Tim Pencari Fakta kasus Munir dengan Presiden sudah menemukan titik terang, bahkan Presiden mengeluarkan Kepres soal itu, tapi ironisnya, Kepres itu tidak berefek pada beberapa petinggi militer, ini kacau," katanya. "Presiden SBY tersandera oleh ulah beberapa orang," katanya.***
Meski dirinya enggan disebut sebagai pejuang HAM, namun sosok Deddy Prihambudi tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan HAM di Jawa Timur. Bagaimana tidak, pria kelahiran Jember, Jawa Timur ini sudah berkecimpung dalam dunia perjuangan HAM sejak dirinya menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang era 80-an.
Bersama kawan-kawan seangkatan dan kakak kelasnya, termasuk (Alm) Munir, Deddy banyak melakukan diskusi terbatas menyangkut persoalan HAM dan Hukum yang di era Orde Baru sering kali dilanggar. "Pergolakan masyarakat dalam kasus tanah masyarakat Nipah, Madura selalu saya kenang. Itu kasus besar yang saya tangani sebelum menjadi pengacara," kenangnya pada The Jakarta Post.
Ketika itu, pemilik tubuh tinggi besar ini baru saja lulus dari FH Unibraw dan langsung bergabung sebagai relawan LBH Surabaya, Cabang Malang di tahun 90-an, bersama (alm) Munir. Hal itu adalah awal Kecintaannya pada dunia perjuangan hukum dan HAM, meski "memaksanya" semakin jauh terlihat aktifitas di LBH Surabaya.
Sosok Deddy dalam perjuangan HAM pun semakin tampak ketika tragedi tewasnya aktivis buruh Marsinah terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur di tahun 1993. Bersama Munir, Deddy melakukan investigasi kasus yang hingga saat ini menjadi simbol perjuangan buruh di Indonesia itu. "Kami bergerilya di Sidoarjo, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Marsinah," katanya.
Teror dan ancaman bagaikan menu sehari-hari bagi Deddy. Apalagi ketika semakin lama, temuan Tim LBH Surabaya semakin mengerucut pada keterlibatan aparat keamanan dalam kasus Marsinah. "Sudah tidak terhitung, berapa kali teror itu saya rasakan," kenangnya. Meski akhirnya, sejarah mencatat kasus Marsinah tidak pernah tuntas hingga saat ini. "Ini adalah pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia, karena dengan bukti-bukti yang begitu gamblang pun, kasus marsinah ini tidak bisa selesai," katanya serius.
Meletusnya peristiwa menculikan aktivis mahasiswa pasca penyerangan Kantor DPP PDIP tahun 1996 direson oleh LBH Surabaya. Deddy menjadi bagian dari Tim Pembela Hukum para aktifis itu. Meski perjuangan mereka kandas, karena para aktivis itu tetap dipenjarakan. Nama Deddy terus melambung, dan dipercaya menjadi Direktur LBH Surabaya selama dua periode di tahun 2001-2003 dan 2003-sekarang.
Bagi penganut Islam taat ini, runtuhnya Orde Baru di bawah Soeharto hingga saat ini tidak menunjukkan adanya perubahan perlakukan HAM. "Di jaman Soeharto, pelanggaran HAM acapkali dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan tangan militer, tapi kini justru mulai tampak kombinasi masyarakat-militer sebagai pelanggar HAM," ujarya.
Hal itu bisa dilihat dari semakin seringnya masyarakat yang terbagi dalam kelompok-kelompok kecil melakukan pelanggaran HAM. "Dalam kasus penodaan agama misalnya, masyarakat dengan terbuka bisa menghakimi pelaku, dan aparat hukum sipil seperti polisi, kejaksaan dan kehakiman tidak berdaya menangani hal itu," jelasnya.
Sementara, belakangan ini sudah muncul laporan ke LBH Surabaya tentang adanya kelompok militer di tingkat teritorial, seperti Babinsa dan Koramil yang mengambil peran polisi. "Sudah mulai terjadi, Babinsa dan Koramil bertanya soal perizinan, apa tugas mereka kembali seperti itu," katanya.
Secara nasional, pun kondisinya tidak jauh berbeda. Meski secara pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tergolong welcome dengan gerakan penegakan HAM, tapi justru ada kelompok lain yang tidak ingin penegakan HAM dilakukan. Deddy mencontohkan kasus kematian Aktivis HAM Munir.
"Dialog yang dilakukan Tim Pencari Fakta kasus Munir dengan Presiden sudah menemukan titik terang, bahkan Presiden mengeluarkan Kepres soal itu, tapi ironisnya, Kepres itu tidak berefek pada beberapa petinggi militer, ini kacau," katanya. "Presiden SBY tersandera oleh ulah beberapa orang," katanya.***
Nurcholish Madjid Ingin Semua Orang Sejahtera
Suara mobil sayup-sayup terdengar dari kejauhan, Senin (29/08) malam itu. Membelah malam di jalan tembusan Desa Mojoanyar dan Banjarrejo, Jombang, Jawa Timur. Puluhan orang peserta doa takziah (melayat) sontak menoleh ke arah datangnya suara, seakan menyambut datangnya mobil yang ditumpangi Muhlisah (60), adik ketiga Alm.Nurcholish Madjid atau Cak Nur.
Ainul Yakin, anak pertama Muhlisah yang juga keponakan Cak Nur sontak berdiri dan menyambut kedatangan sang ibu. Perempuan itu tertatih, merangkul Ainul Yakin dan menangis sesenggukan. "Pakdemu le,..pakdemu,.." kata Muhlisah di sela-sela tangisnya. Ainul Yakin membelai kepala Muhlisah dan memapahnya menuju pintu belakang rumah peninggalan Alm KH. Abdul Madjid, ayahanda Cak Nur. Peserta takziah hanya terdiam, tenggelam dalam doa.
Begitulah penggalan suasana di rumah kelahiran Cak Nur di Jombang ketika The Jakarta Post mengunjungi rumah itu beberapa jam setelah Cak Nur dinyatakan meninggal dunia di RS. Pondok Indah Jakarta Selatan, Senin siang ini. Di rumah seluas 450-an m2 itu, sekitar 70-an orang berkumpul untuk berdoa bagi Cak Nur. "Kepergian Cak Nur sangat mengejutkan," kata Ainul Yakin, keponakan Cak Nur.
Rumah di belakang mushola tempat kelahiran tokoh nasional sekaliber Cak Nur tergolong sederhana. Sebagian dinding rumah itu terbuat dari kayu, sebagian lain ditutupi triplek dan hiasan dinding sederhana. Selembar kelambu kusam yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah. Halaman depan rumah itu menjadi satu dengan halaman mushola.
Halaman itu juga yang digunakan sebagai tempat sholat bila jumlah jamaah tidak tertampung. Sekaligus menjadi lapangan bulu tangkis, tempat pemuda desa itu berolahraga. "Baginilah, meski sederhana, tapi rumah ini yang selalu dirindukan Cak Nur, kalau pas pulang kampung dia selalu minta tidur disini," kata Inul pada The Post.
Wajar bila Cak Nur sangat ingin menikmati masa lalunya. Di rumah itu Cak Nur dibesarkan dengan ketiga saudaranya, Muhlisah, Syaifullah dan M. Adnan. Kesan sederhana itu juga yang dirasakan Mat Cholil, (59) salah satu teman sepermainan Cak Nur ketika kecil. Laki-laki paruh baya yang seluruh rambutnya memutih itu lebih banyak terdiam ketika The Jakarta Post bertanya tentang sahabatnya itu. "Saya tidak tahu, harus bicara apa, semua ini terlalu tiba-tiba," kata Mat Cholil kembali terdiam.
Mat Cholil mengenang, sejak pertama bertemu dengan Cak Nur pada awal tahun 1945, hanya satu hal yang tidak bisa terlupa, kecerdikannya. "Saya heran, bagaimana bisa dia menangkap ikan Gatul dengan cepat dan banyak, eh,..tahunya dia bikin alat seperti jaring dari bambu, dan dipasang di kali yang airnya deras, ketika ada ikan yang berenang ikut arus pasti masuk ke jaring itu," katanya.
Begitu juga ketika anak-anak kecil di jaman itu bermain dengan pesawat terbang kecil bikinan sendiri. Pesawat terbang milik Cak Nur-lah yang berwarna-warni. "Kami sempat terheran, ternyata warna-warna itu diambil dari kapur, batu bata dan blawu (kapur biru)," kenang Cholil. Kecerdikan itu pula yang membuat tokoh kelahiran Jombang, 17 Maret 1939 itu selalu menduduki rangking pertama dalam pendidikannya.
Muhlisah, salah satu adik Cak Nur yang terlihat paling terpukul dengan kematian tokoh pluralis Indonesia itu ingat betul bagaimana kakak tertuanya itu selalu mendorongnya terus bersekolah ketika Muhlisah dipaksa menikah. "Kakak saya yang paling keras menentang keinginan itu, dan mendorong saya untuk terus sekolah," kata perempuan tiga cucu.
Cak Nur pulalah yang akhirnya secara serius mengurus Yayasan Pendidikan Al Huda yang didirikan oleh sang ayah. Puluhan komputer dan alat-alat drum band secara khusus dibelikan oleh lulusan Universitas Chicago AS tahun 1984 itu untuk sekolah yang terletak di samping mushola itu. Dan yang paling monumental, Cak Nur membiayai pembebasan tanah untuk jalan dan jembatan yang menghubungkan Desa Mojoanyar dan Banjarrejo, Jombang.
Sebelum jalan dan jembatan itu ada, anak-anak desa Banjarrejo yang bersekolah di Yayasan Pendidikan Al Huda harus berjalan kaki di pematang sawah, serta menyeberang kali selebar tujuh meter itu. Bahkan, ketika sungai sedang meluap, anak-anak itu harus berjalan memutar sejauh tiga meter. "Cak Nur hanya ingin semua orang sejahtera," kenang Ali Ridho, salah satu tetangga Cak Nur. Selamat jalan Cak Nur.***
Ainul Yakin, anak pertama Muhlisah yang juga keponakan Cak Nur sontak berdiri dan menyambut kedatangan sang ibu. Perempuan itu tertatih, merangkul Ainul Yakin dan menangis sesenggukan. "Pakdemu le,..pakdemu,.." kata Muhlisah di sela-sela tangisnya. Ainul Yakin membelai kepala Muhlisah dan memapahnya menuju pintu belakang rumah peninggalan Alm KH. Abdul Madjid, ayahanda Cak Nur. Peserta takziah hanya terdiam, tenggelam dalam doa.
Begitulah penggalan suasana di rumah kelahiran Cak Nur di Jombang ketika The Jakarta Post mengunjungi rumah itu beberapa jam setelah Cak Nur dinyatakan meninggal dunia di RS. Pondok Indah Jakarta Selatan, Senin siang ini. Di rumah seluas 450-an m2 itu, sekitar 70-an orang berkumpul untuk berdoa bagi Cak Nur. "Kepergian Cak Nur sangat mengejutkan," kata Ainul Yakin, keponakan Cak Nur.
Rumah di belakang mushola tempat kelahiran tokoh nasional sekaliber Cak Nur tergolong sederhana. Sebagian dinding rumah itu terbuat dari kayu, sebagian lain ditutupi triplek dan hiasan dinding sederhana. Selembar kelambu kusam yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah. Halaman depan rumah itu menjadi satu dengan halaman mushola.
Halaman itu juga yang digunakan sebagai tempat sholat bila jumlah jamaah tidak tertampung. Sekaligus menjadi lapangan bulu tangkis, tempat pemuda desa itu berolahraga. "Baginilah, meski sederhana, tapi rumah ini yang selalu dirindukan Cak Nur, kalau pas pulang kampung dia selalu minta tidur disini," kata Inul pada The Post.
Wajar bila Cak Nur sangat ingin menikmati masa lalunya. Di rumah itu Cak Nur dibesarkan dengan ketiga saudaranya, Muhlisah, Syaifullah dan M. Adnan. Kesan sederhana itu juga yang dirasakan Mat Cholil, (59) salah satu teman sepermainan Cak Nur ketika kecil. Laki-laki paruh baya yang seluruh rambutnya memutih itu lebih banyak terdiam ketika The Jakarta Post bertanya tentang sahabatnya itu. "Saya tidak tahu, harus bicara apa, semua ini terlalu tiba-tiba," kata Mat Cholil kembali terdiam.
Mat Cholil mengenang, sejak pertama bertemu dengan Cak Nur pada awal tahun 1945, hanya satu hal yang tidak bisa terlupa, kecerdikannya. "Saya heran, bagaimana bisa dia menangkap ikan Gatul dengan cepat dan banyak, eh,..tahunya dia bikin alat seperti jaring dari bambu, dan dipasang di kali yang airnya deras, ketika ada ikan yang berenang ikut arus pasti masuk ke jaring itu," katanya.
Begitu juga ketika anak-anak kecil di jaman itu bermain dengan pesawat terbang kecil bikinan sendiri. Pesawat terbang milik Cak Nur-lah yang berwarna-warni. "Kami sempat terheran, ternyata warna-warna itu diambil dari kapur, batu bata dan blawu (kapur biru)," kenang Cholil. Kecerdikan itu pula yang membuat tokoh kelahiran Jombang, 17 Maret 1939 itu selalu menduduki rangking pertama dalam pendidikannya.
Muhlisah, salah satu adik Cak Nur yang terlihat paling terpukul dengan kematian tokoh pluralis Indonesia itu ingat betul bagaimana kakak tertuanya itu selalu mendorongnya terus bersekolah ketika Muhlisah dipaksa menikah. "Kakak saya yang paling keras menentang keinginan itu, dan mendorong saya untuk terus sekolah," kata perempuan tiga cucu.
Cak Nur pulalah yang akhirnya secara serius mengurus Yayasan Pendidikan Al Huda yang didirikan oleh sang ayah. Puluhan komputer dan alat-alat drum band secara khusus dibelikan oleh lulusan Universitas Chicago AS tahun 1984 itu untuk sekolah yang terletak di samping mushola itu. Dan yang paling monumental, Cak Nur membiayai pembebasan tanah untuk jalan dan jembatan yang menghubungkan Desa Mojoanyar dan Banjarrejo, Jombang.
Sebelum jalan dan jembatan itu ada, anak-anak desa Banjarrejo yang bersekolah di Yayasan Pendidikan Al Huda harus berjalan kaki di pematang sawah, serta menyeberang kali selebar tujuh meter itu. Bahkan, ketika sungai sedang meluap, anak-anak itu harus berjalan memutar sejauh tiga meter. "Cak Nur hanya ingin semua orang sejahtera," kenang Ali Ridho, salah satu tetangga Cak Nur. Selamat jalan Cak Nur.***
Oei Hiem Hwie "Bersahabat" Dengan Adolf Hitler
Suasana remang di Ruang Langka perpustakaan Yayasan Medayu Agung Surabaya semakin terang ketika Oei Hiem Hwie memasuki ruangan itu dan menyalakan saklar lampu utama. Cahaya lampu menerangi deretan buku-buku tebal yang tertata rapi di dalam lemari kayu kaca berukiran khas Jepara. "Sebentar lagi anda akan tahu, mengapa ruang ini disebut Ruang Langka," kata Oei Hiem Hwie pada The Jakarta Post, Senin (05/09) siang ini.
Perlahan, laki-laki berusia 65 tahun yang akrab dipanggil Om Hwie itu membuka salah satu pintu lemari kaca dan mengeluarkan salah satu buku koleksi perpustakaan itu. "Ini koleksi buku yang paling berharga yang kita miliki," katanya singkat sambil menunjukkan buku berjudul Geschiedenis Van Nederlandsch terbitan tahun 1938.
Buku bersampul merah bata setebal 1000-an halaman itu berisi tentang sejarah Indonesia dalam kacamata Pemerintah Belanda yang dicetak dalam lima edisi. Perpustakaan Medayu Agung memiliki empat edisi asli dan satu edisi fotocopy. "Buku ini adalah induk dari sejarah Indonesia dan hanya dimiliki oleh orang tertentu, karena dicetak sangat terbatas dari pemerintah Belanda untuk pegawai yang bertugas di Indonesia," katanya.
Uniknya, cerita Om Hwie, ketika cetakan ke lima Geschiedenis Van Nederlandsch akan disebarkan di Indonesia, kapal pengangkut yang membawa buku ini dibom oleh pasukan Jepang. Hampir seluruh edisi ke lima hancur. "Anehnya justru Pramoedya Ananta Toer yang punya edisi ke lima, dan saya diberi fotocopyannya," cerita Hwie.
Oei Hiem Hwie adalah satu di antara sedikit orang Indonesia yang punya keperdulian pada buku. Sudah 8000-an judul buku dan kliping koran, majalah serta tabloid dimiliki laki-laki kelahiran Malang, Jawa Timur 65 tahun lalu itu. "Sampai saya kesulitan menyimpan ribuan buku-buku itu, untung saja keluarga tidak protes meskipun harus tidur di atas tumpukan buku-buku," katanya.
DIPENJARA DI PULAU BURU
Keterlibatan Om Hwie pada buku berawal dari perkenalannya dengan dunia jurnalistik pada pertengahan tahun 1950-an. Ketika itu, Oei Hiem Hwie muda coba merintis karir jurnalistik dengan menuntut ilmu di lembaga pelatihan Pro Patria Jogjakarta dan Sumber Pengetahuan (Bandung). Setahun kemudian, melanjutkan studinya di lembaga pelatihan Usaha Modern, Surabaya.
"Semakin mantab niatan saya untuk menjadi wartawan, kebetulan harian Terompet Masyarakat menerima saya sebagai wartawan cabang Malang," kenangnya. Bekerja di Terompet Masyarakat bagaikan menyalurkan sisi idealisme yang selama ini buntu. "Saya cocok dengan koran itu, apalagi motonya, Membela Kaum Kecil Agar Bebas Dari Segala Pengaruh," kata Om Hwie.
Bersamaan dengan itulah, pelan-pelan Om Hwie mulai mengumpulkan buku-buku politik yang diminatinya. Plus, klipingan koran yang pada masa itu sangat beragam. "Kakek dan bapak saya yang juga gemar membaca, menghibahkan semua buku yang dimilikinya, jumlahnya sekitar 2000 buku berhasil saya kumpulkan, karena saya bercita-cita punya perpustakaan," katanya.
Namun, cita-cita itu pupus di tengah jalan, ketika meletus peristiwa Gerakan 30 September. Oei Hiem Hwie, yang ketika itu menjabat sebagai sekretaris Badan Persaudaraan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dinilai sebagai salah satu underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Rumah di orang tua Oei Hiem Hwie di Malang diserbu oleh aparat keamanan yang masyarakat.
Ribuan buku-buku yang sudah dikumpulkan Oei Hiem Hwie pun disita dan dibakar. "Untung beberapa diantaranya berhasil disembunyikan di atap rumah, di gudang dan di beberapa tempay," katanya. Om Hwie pun ditangkap dan dipenjara selama 13 tanpa melalui proses peradilan yang sah. "Saya sempat dipenjara di enam tempat, mulai penjara Batu, Penjara Lowokwaru Malang, Kaliasin, Koblen Surabaya, Pulau Nusakambangan dan terakhir di pulau Buru," kenang Om Hwie.
Di penjara Pulau Buru itulah, Oei Hiem Hwie berkenalan dengan penulis legendaris Pramoedya Ananta Toer. "Saya juga yang membawa tiga bendel naskah Pram yang ditulis di atas kertas semen, hingga akhirnya muncul tetralogi Bumi Manusia," katanya. Tiga belas tahun kemudian, tepatnya tahun 1978 Oei Hiem Hwie dibebaskan.
MEMBANGUN PERPUSTAKAAN
Kembali menghirup udara bebas, membuat Oei Hiem Hwie kembali teringat pada cita-cita lamanya untuk membangun perpustakaan. Buku-buku yang sempat "diselamatkan" ketika rumahnya diserbu, dikumpulkan dan coba ditata. "Sayang, beberapa buku berkualitas seperti buku Peristiwa Percobaan Pembunuhan Bung Karno di Cikini, Percobaan Pembunuhan Bung Karno Saat Idul Adha, Peristiwa Maokar DI/TII, Peristiwa Alan Pope, WNA Yang Membantu PRRI/PERMESTA ikut dibakar," jelas sosok yang gemar bersandal jepit ini.
Cita-cita itu bersambut ketika pemilik toko buku Sariagung dan Gunung Agung, Haji Masagung memintanya menjadi sekretaris pribadi, dan memberi kesempatan pada dirinya untuk mengambil satu buku secara gratis untuk koleksi. "Hampir 7000 judul buku dan kliping berhasil saya kumpulkan sejak bekerja dengan Haji Masagung," jelasnya.
Buku-buku itulah yang akhirnya menjadi sumber utama didirikannya Yayasan Medayu Agung Surabaya di Surabaya Selatan. Tujuh orang intelektual, termasuk ekonom Kresnayana Yahya dan sosilog Dede Oetomo masuk di dalamnya dan bersedia menjadi penyandang dana awal. Sebuah bangunan perpustakaan sederhana yang dibangun dengan dana awal Rp.600 juta pun berdiri dengan tiga ruang utama, Ruang Koleksi Khusus, Koleksi Langka dan Literatur.
Karya-karya Tentang Mantan Presiden Soekarno, Pramoedya Ananta Toer, hingga tulisan tentang pembauran etnis tionghoa di Indonesia. Belum lagi kumpulan buku-buku kuno terbitan tahun 1800-1900 dalam berbagai bahasa asing yang sudah mulai lapuk. "Hampir semuanya dilarang beredar oleh pemerintah, termasuk buku asli Meinkampt karya Adolf Hitler, The Histories Of Java karya Rafles dan Officieel Gedenkboek yang diterbitkan zaman Ratu Willhelmina," jelasnya.
Nama-nama besar seperti Daniel S.Lev dari University of Washington, Benedict Anderson hingga Ketua International Peringatan Cheng Ho ke 600 dari Singapura tercatat pernah mengunjungi perpustakaan itu. "Saya sampai malu, banyak orang besar yang datang ke sini, tapi saya masih menganggap buku-buku yang saya koleksi belum banyak," kata Om Hwie merendah.
Belum lagi, jika mengingat jumlah dana yang semakin lama semakin menipis, termasuk untuk membayar enam pekerja yang setiap hari mendata buku-buku dan media cetak yang setiap hari tidak terbendung. "Jujur saya, sudah banyak prof dan doktor yang menjadikan perpustakaan ini sebagai sumber menjadi referensi secara gratis, tapi justru semakin lama, kami semakin kekurangan uang untuk merawat ribuan buku," jelasnya.***
Perlahan, laki-laki berusia 65 tahun yang akrab dipanggil Om Hwie itu membuka salah satu pintu lemari kaca dan mengeluarkan salah satu buku koleksi perpustakaan itu. "Ini koleksi buku yang paling berharga yang kita miliki," katanya singkat sambil menunjukkan buku berjudul Geschiedenis Van Nederlandsch terbitan tahun 1938.
Buku bersampul merah bata setebal 1000-an halaman itu berisi tentang sejarah Indonesia dalam kacamata Pemerintah Belanda yang dicetak dalam lima edisi. Perpustakaan Medayu Agung memiliki empat edisi asli dan satu edisi fotocopy. "Buku ini adalah induk dari sejarah Indonesia dan hanya dimiliki oleh orang tertentu, karena dicetak sangat terbatas dari pemerintah Belanda untuk pegawai yang bertugas di Indonesia," katanya.
Uniknya, cerita Om Hwie, ketika cetakan ke lima Geschiedenis Van Nederlandsch akan disebarkan di Indonesia, kapal pengangkut yang membawa buku ini dibom oleh pasukan Jepang. Hampir seluruh edisi ke lima hancur. "Anehnya justru Pramoedya Ananta Toer yang punya edisi ke lima, dan saya diberi fotocopyannya," cerita Hwie.
Oei Hiem Hwie adalah satu di antara sedikit orang Indonesia yang punya keperdulian pada buku. Sudah 8000-an judul buku dan kliping koran, majalah serta tabloid dimiliki laki-laki kelahiran Malang, Jawa Timur 65 tahun lalu itu. "Sampai saya kesulitan menyimpan ribuan buku-buku itu, untung saja keluarga tidak protes meskipun harus tidur di atas tumpukan buku-buku," katanya.
DIPENJARA DI PULAU BURU
Keterlibatan Om Hwie pada buku berawal dari perkenalannya dengan dunia jurnalistik pada pertengahan tahun 1950-an. Ketika itu, Oei Hiem Hwie muda coba merintis karir jurnalistik dengan menuntut ilmu di lembaga pelatihan Pro Patria Jogjakarta dan Sumber Pengetahuan (Bandung). Setahun kemudian, melanjutkan studinya di lembaga pelatihan Usaha Modern, Surabaya.
"Semakin mantab niatan saya untuk menjadi wartawan, kebetulan harian Terompet Masyarakat menerima saya sebagai wartawan cabang Malang," kenangnya. Bekerja di Terompet Masyarakat bagaikan menyalurkan sisi idealisme yang selama ini buntu. "Saya cocok dengan koran itu, apalagi motonya, Membela Kaum Kecil Agar Bebas Dari Segala Pengaruh," kata Om Hwie.
Bersamaan dengan itulah, pelan-pelan Om Hwie mulai mengumpulkan buku-buku politik yang diminatinya. Plus, klipingan koran yang pada masa itu sangat beragam. "Kakek dan bapak saya yang juga gemar membaca, menghibahkan semua buku yang dimilikinya, jumlahnya sekitar 2000 buku berhasil saya kumpulkan, karena saya bercita-cita punya perpustakaan," katanya.
Namun, cita-cita itu pupus di tengah jalan, ketika meletus peristiwa Gerakan 30 September. Oei Hiem Hwie, yang ketika itu menjabat sebagai sekretaris Badan Persaudaraan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dinilai sebagai salah satu underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Rumah di orang tua Oei Hiem Hwie di Malang diserbu oleh aparat keamanan yang masyarakat.
Ribuan buku-buku yang sudah dikumpulkan Oei Hiem Hwie pun disita dan dibakar. "Untung beberapa diantaranya berhasil disembunyikan di atap rumah, di gudang dan di beberapa tempay," katanya. Om Hwie pun ditangkap dan dipenjara selama 13 tanpa melalui proses peradilan yang sah. "Saya sempat dipenjara di enam tempat, mulai penjara Batu, Penjara Lowokwaru Malang, Kaliasin, Koblen Surabaya, Pulau Nusakambangan dan terakhir di pulau Buru," kenang Om Hwie.
Di penjara Pulau Buru itulah, Oei Hiem Hwie berkenalan dengan penulis legendaris Pramoedya Ananta Toer. "Saya juga yang membawa tiga bendel naskah Pram yang ditulis di atas kertas semen, hingga akhirnya muncul tetralogi Bumi Manusia," katanya. Tiga belas tahun kemudian, tepatnya tahun 1978 Oei Hiem Hwie dibebaskan.
MEMBANGUN PERPUSTAKAAN
Kembali menghirup udara bebas, membuat Oei Hiem Hwie kembali teringat pada cita-cita lamanya untuk membangun perpustakaan. Buku-buku yang sempat "diselamatkan" ketika rumahnya diserbu, dikumpulkan dan coba ditata. "Sayang, beberapa buku berkualitas seperti buku Peristiwa Percobaan Pembunuhan Bung Karno di Cikini, Percobaan Pembunuhan Bung Karno Saat Idul Adha, Peristiwa Maokar DI/TII, Peristiwa Alan Pope, WNA Yang Membantu PRRI/PERMESTA ikut dibakar," jelas sosok yang gemar bersandal jepit ini.
Cita-cita itu bersambut ketika pemilik toko buku Sariagung dan Gunung Agung, Haji Masagung memintanya menjadi sekretaris pribadi, dan memberi kesempatan pada dirinya untuk mengambil satu buku secara gratis untuk koleksi. "Hampir 7000 judul buku dan kliping berhasil saya kumpulkan sejak bekerja dengan Haji Masagung," jelasnya.
Buku-buku itulah yang akhirnya menjadi sumber utama didirikannya Yayasan Medayu Agung Surabaya di Surabaya Selatan. Tujuh orang intelektual, termasuk ekonom Kresnayana Yahya dan sosilog Dede Oetomo masuk di dalamnya dan bersedia menjadi penyandang dana awal. Sebuah bangunan perpustakaan sederhana yang dibangun dengan dana awal Rp.600 juta pun berdiri dengan tiga ruang utama, Ruang Koleksi Khusus, Koleksi Langka dan Literatur.
Karya-karya Tentang Mantan Presiden Soekarno, Pramoedya Ananta Toer, hingga tulisan tentang pembauran etnis tionghoa di Indonesia. Belum lagi kumpulan buku-buku kuno terbitan tahun 1800-1900 dalam berbagai bahasa asing yang sudah mulai lapuk. "Hampir semuanya dilarang beredar oleh pemerintah, termasuk buku asli Meinkampt karya Adolf Hitler, The Histories Of Java karya Rafles dan Officieel Gedenkboek yang diterbitkan zaman Ratu Willhelmina," jelasnya.
Nama-nama besar seperti Daniel S.Lev dari University of Washington, Benedict Anderson hingga Ketua International Peringatan Cheng Ho ke 600 dari Singapura tercatat pernah mengunjungi perpustakaan itu. "Saya sampai malu, banyak orang besar yang datang ke sini, tapi saya masih menganggap buku-buku yang saya koleksi belum banyak," kata Om Hwie merendah.
Belum lagi, jika mengingat jumlah dana yang semakin lama semakin menipis, termasuk untuk membayar enam pekerja yang setiap hari mendata buku-buku dan media cetak yang setiap hari tidak terbendung. "Jujur saya, sudah banyak prof dan doktor yang menjadikan perpustakaan ini sebagai sumber menjadi referensi secara gratis, tapi justru semakin lama, kami semakin kekurangan uang untuk merawat ribuan buku," jelasnya.***
Subscribe to:
Posts (Atom)