Monday, April 10, 2006

DR.Ayu Sutarto Adalah Pahlawan Budaya

Dari luar, rumah sederhana di Jl. Sumatera VI no.35 Jember, Jawa Timur itu tampak sederhana. Selasar depan rumah itu pun sempit, hanya seluas tempat parkir dua sepeda motor. Di tembok kanan atas terpasang plakat bertuliskan "Kelompok Peduli Budaya dan Wisata Daerah-Kompyawisda", sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang concern terhadap kebudayaan dan pariwisata di Jawa Timur.

Di tempat itulah, DR.Ayu Sutarto, budayawan yang juga dosen Fakultas Sastra di Universitas Jember ini membangun "bengkel" budayanya. "Inilah bengkel sederhana saya, tempat saya dan teman-teman Kompyawisda bekerja, dan berdiskusi persoalan budaya Jawa Timur yang belakangan mulai terkikis oleh modernisasi," katanya pada The Jakarta Post yang menemuinya, Senin (06/03) malam lalu.

Sosok Pak Ayu, begitu dia biasa dipanggil, tidak bisa dilepaskan dari sektor pembangunan kebudayaan di provinsi paling timur di Pulau Jawa Ini. Sejak tahun 80-an, laki-laki kelahiran Pacitan 21 September 1949 ini sudah berkecimpung dalam kerja advokasi budaya. Hal itu terlihat dari bukunya berjudul The Legends of Madura (1985).

Bagaikan gelombang pasang yang terus bergulung, puluhan buku-buku budaya berbau Jawa Timur karya Ayu Sutarto pun terus terbit. Seperti Sudirman: A Simple Man, A Great General (1986), Queen Kilisuci: A Stories of Reog (1988), Kamus Khusus Inggris-Indonesia (1990) hingga Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam dan Indonesia.

"Karya-karya kecil seperti buku-buku saya itu diterbitkan oleh berbagai penerbit seperti PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, Balai Pustaka hingga penerbit Universitas Jember," kenangnya.

Puncak dari kedekatan Ayu Sutarto pada budaya adalah ketika tahun dirinya memilih Suku Tengger Gunung Bromo sebagai bahan disertasi program doktornya di Universitas Indonesia. Selama lima tahun laki-laki yang pernah memperoleh beasiswa ILDEP di Universitas Leiden Belanda itu tinggal di lereng Gunung Bromo. "Cum Laude saya ini juga milik masyarakat Tengger Bromo," katanya.

Hasil penelitian itu juga yang akhirnya menyabet juara pertama Pemilihan Naskah Bidang Humaniora yang diselenggarakan oleh PT. Balai Pustaka Jakarta di tahun 1997. Sekaligus menerbitkan sebuah buku berjudul Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang (1997).

Pergumulan dengan Kondisi budaya Jawa Timur selama bertahun-tahun, membuat Ayu Sutarto memahami seluk beluk budaya khususnya di Jawa Timur yang seringkali diperlakukan dengan tidak adil. Ketidakadilan itu laksana pelecut semangatnya untuk terus membela kebudayaan. "Banyak sekali kebijakan pemerintah yang justru tidak memperhatikan sisi kebudayaan, hal itu menciptakan masalah baru yang lebih kompleks dan lebih sulit untuk diselesaikan," tegas mantan pengajar Bahasa Jawa orang Suriname di Rotterdam ini.

Ayu Sutarto mencontohkan program Revolusi Hijau yang dilaksakan pada saat Orde Baru. Dalam program yang pada intinya meningkatkan hasil panen pertanian dengan menggalakkan penggunaan bibit unggul dan pupuk buatan pabrik itu di satu sisi menguntungkan petani dalan persoalan ekonomi. Namun di sisi yang lain, program itu menciptakan ketidakmandirian petani. Terutama adalah ketergantungan petani pada bibit unggul dan pupuk pabrikan.

Dan pada ujungnya, ketika harga bibit unggul dan pupuk meningkat karena terimbas persoalan ekonomi global, petani pun ikut sengsara. Sialnya, petani pun tidak terbiasa menggunakan bibit alami dan pupuk organik yang biasa digunakan."Seharusnya tidak seperti itu, kalau pemerintah memahami persoalan kebudayaan, karena harga soaial yang harus dibayar terlalu mahal," tegas sosok yang masuk sebagai 15 dosen berprestasi tingkat nasional ini.

Bila pemerintah mau memahami kebudayaan, justru karakter tiap masyarakat, khususnya di Jawa Timur bisa digunakan sebagai upaya mendorong pembangunan yang "berbasis kebudayaan." Ayu mencontohkan Jawa Timur, provinsi yang menurut Ayu memiliki 10 wilayah kebudayaan. Jawa Mataraman (sekitar kota Kediri), Jawa Panaragan (sekitar kota Ponorogo) , Arek (sekitar kota Surabaya), Samin (sekitar kota Bojonegoro), Tengger (sekitar Gunung Bromo), Osing (sekitar kota Banyuwangi), Pandalungan (sekitar kota Jember), Madura Pulau, Madura Bawean (Pulau Bawean) dan Madura Kangean.

Masing-masing kelompok kebudayaan itu memiliki karakter yang bisa digunakan sebagai "klik" dari pembangunan. "Masyarakat Tengger yang berkarakter menghargai alam dalam dunia pertanian misalnyabisa dijadikan contoh proyek pertanian yang unggul tanpa ketergantungan pada bahan-bahan pabrik," kata Ayu.

Sayangnya, Ayu Sutarto tidak melihat adanya gejala dari pemerintahan kali ini untuk memahami sisi kebudayaan. Hal itu terlihat dari masih senangnya pemerintahan kota-kota di seluruh Indonesia membangun mall dengan alasan modernisasi daripada mendorong kegiatan masyarakat yang berprespektif kesenian.

"Mall banyak tumbuh, menggusur ruang-ruang hijau, bahkan alun-alun kota yang seharusnya berfungsi sebagai sarana pembangunan budaya pun berubah menjadi tempat pedagang sampai waria menjajakan diri," katanya.***

No comments: