Monday, April 10, 2006

Sirikit Syah Yang Kontroversial

Tumpukan koran dan buku-buku berserak di samping komputer di atas meja kerja Sirikit Syah, ketika The Jakarta Post menemuinya di kantor redaksi Surabaya Post, Senin (03/04) sore ini. Di sampingnya berjajar buku-buku yang tertata rapi di dalam lemari kaca, membuat ruang kerja di lantai dua rumah toko (ruko) itu tampak padat. Apalagi, ruangan berukuran 3x5 m itu juga ditempati sekretaris redaksi. Dari ruangan sederhana itu, Sirikit Syah yang pada 28 Juli mendatang tepat berusia 46 tahun itu bekerja sebagai pemimpin redaksi.

Di Jawa Timur, nama Sirikit Syah tidak bisa dilepaskan dari dunia komunikasi. Sejak tahun 1984 perempuan kelahiran Surabaya tahun 1960 itu mulai berkarier di dunia komunikasi sebagai wartawan Surabaya Post. Hingga dirinya menyatakan berhenti enam tahun kemudian dan bekerja sebagai koresponden RCTI dan SCTV untuk wilayah Jawa Timur dan Indonesia Timur. "Saya selalu ingin mengembangkan karier saya di dunia komunikasi di berbagai media," kata penerima fellowship dari Nihon Shimbun Kyokai (NSK) Jepang tahun 1988 dan Hubert H. Humphrey Foundation di tahun 1994 ini.

Atas alasan itu juga, sejak 1996-2000 perempuan yang selalu mengenakan jilbab ini bekerja di The Jakarta Post sembari membangun sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Media Watch. Sebuah LSM yang secara khusus bekerja mengamati sepak terjang pers. Tidak hanya itu, Sirikit juga aktif menjadi penggerak "peace journalism" di Jawa Timur. "Saya melihat, euforia kebebasan pers harus dikendalikan, karena itu saya dan teman-teman yang memiliki ide yang sama membuat Media Watch," katanya.

Menjadi Watch dog pers dalam Media Watch seperti sebuah pisau bermata dua bagi perempuan asli Surabaya ini. Pada satu sisi, dirinya "dipuja" karena dinilai bisa melindungi masyarakat dari kebebasan pers yang ketika itu terkesan tidak terkontrol. Namun di sisi lain, Sirikit pun dicap sebagai sosok yang "sok tahu" karena sering kali mengkritik media massa tanpa memberi solusi yang jelas. Apalagi, kritikan itu tidak mampu merubah budaya pers yang ketika itu sering kali melanggar kode etiknya. Melalui Media Watch inilah Sirikit memperoleh penghargaan dari lembaga asal Jepang, Ashoka di tahun 2002.

Dua hal itu tidak membuat Wakil Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS) itu berhenti berkiprah. Tahun 2004, Sirikit Syah didaulat menjadi Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur dengan tugas utama meregulasi semua hal yang berkaitan dengan dunia broadcasting di Jawa Timur. "Awalnya, saya memperkirakan bisa bertahan selama dua periode di KPID, tapi ternyata saya salah, KPID menjadi sejarah hitam saya," katanya.

Memang, Jawa Timur bisa dinilai sebagai daerah yang paling kacau dalam hal regulasi frekuensi. Fungsi KPID sebagai regulator pun tidak berjalan. Puluhan radio gelap dan televisi tidak berizin muncul. "Semua orang tahu, ada orang-orang di KPID yang justru memanfaatkan situasi dengan menjualbelikan frekuensi, hal itu tidak bisa saya cegah karena ketika itu sistem yang mengatur tidak ada," kilahnya.

Sirikit yang berniat mengatur dengan tegas pun teralieniasi. Bahkan, dirinya pun "dimusuhi" oleh komunitas broadcast, terutama kalangan radio di kota-kota kecil di Jawa Timur. Kondisi itu memaksanya mundur dari KPID. KPID Jawa Timur pun dibubarkan. "Saya tidak menyalahkan pihak yang miskomunikasi dengan Saya menyangkut KPID, tapi jujur saja, Saya tidak bisa bekerja dalam sistem yang korup seperti itu," katanya.

Di skala nasional, nama Sirikit pun identik dengan hal-hal yang berbau kontroversial. Terutama di dunia mailing list internet, sosok yang acapkali memperoleh beasiswa ke luar negeri ini seringkali melempar opini yang "melawan arus". Salah satunya adalah pembelaan Sirikit pada TNI dalam kasus di Nanggroe Aceh Darrusalam. "Tidak ada sedikit pun keinginan saya untuk mengecilkan arti sejarah saudara kita di Aceh, tapi saya tidak ingin bangsa ini menjadi bangsa yang dibangun di atas dendam," katanya.

Begitu juga dalam kasus penyerangan redaksi Majalah Tempo oleh sekelompok massa pembela pengusaha Tommy Winata. Dalam dua buah artikel yang dimuat di Harian Kompas dan Harian Surya, Sirikit memilih untuk memojokkan berita yang dimuat Tempo. "Hasil analisa yang Saya lakukan, dalam frame teori ilmu komunikasi memang berita di majalah Tempo itu yang memicu penyerangan. Saya sama sekali tidak membela penyerang, saya hanya menjelaskan dalam kerangka teori komunikasi," tegasnya.

Ketegaran Sirikit dalam bersikap berangkat dari keinginan perempuan lulusan West Minster University tahun 2002 ini untuk selalu menyuarakan hati nuraninya. "Bila hati nurani saya berbicara 'a', saya berusaha untuk mengatakan 'a', meski itu tidak populer," katanya. Semangat itu coba diterapkan dalam pola kepemimpinannya di Harian Sore Surabaya Post, sejak 1 April 2006 lalu. "Saya sadar, Surabaya Post adalah koran legendaris, justru itu yang membuat Saya bersedia untuk memimpinnya, kalau bukan Surabaya Post, mungkin Saya tolak," katanya.

Surabaya Post adalah koran yang didirikan pertama kali oleh Almarhum A.Azis dan istrinya Almarhumah Misoetin Agoesdina (Atoety Azis) pada 1 April 1953. Selama bertahun-tahun koran sore pertama di Jawa Timur ini menguasai khasanah pers di Jawa Timur. Hingga akhirnya tutup secara mengenaskan pada 22 Juli 2002 karena ada kesalahan manajemen. Hingga pada tahun 2003 kembali didirikan oleh Forum Karyawan Surabaya Post (FKSP).

Meskipun secara fisik Surabaya Post "baru" hadir dengan format baru yang lebih kecil, namun tidak ada perubahan dalam isi dan karakter jurnalistik "santun" ala Surabaya Post "lama". "Hal itu yang ingin kami pertahankan, Surabaya Post tetap hadir sebagai harian sore dengan menawarkan kesantunan jurnalistik," kata Sirikit. Meski begitu, Sirikit menyadari upaya membangkitkan koran yang pernah mencapai tiras ratusan ribu eksemplar dengan omset Rp.9 miliar (Buku: Di Balik Runtuhnya Surabaya Post) ini bukan hal yang mudah.

Strategi yang akan diterapkan adalah kembali menjadikan Harian Sore Surabaya Post sebagai koran yang benar-benar menyajikan berita lokal yang terjadi sepanjang siang. "Menjaga lokalitas dan menyajikan berita yang terjadi dini dan siang hari adalah hal yang paling utama," katanya.***

No comments: