Monday, April 10, 2006

Oei Hiem Hwie "Bersahabat" Dengan Adolf Hitler

Suasana remang di Ruang Langka perpustakaan Yayasan Medayu Agung Surabaya semakin terang ketika Oei Hiem Hwie memasuki ruangan itu dan menyalakan saklar lampu utama. Cahaya lampu menerangi deretan buku-buku tebal yang tertata rapi di dalam lemari kayu kaca berukiran khas Jepara. "Sebentar lagi anda akan tahu, mengapa ruang ini disebut Ruang Langka," kata Oei Hiem Hwie pada The Jakarta Post, Senin (05/09) siang ini.

Perlahan, laki-laki berusia 65 tahun yang akrab dipanggil Om Hwie itu membuka salah satu pintu lemari kaca dan mengeluarkan salah satu buku koleksi perpustakaan itu. "Ini koleksi buku yang paling berharga yang kita miliki," katanya singkat sambil menunjukkan buku berjudul Geschiedenis Van Nederlandsch terbitan tahun 1938.

Buku bersampul merah bata setebal 1000-an halaman itu berisi tentang sejarah Indonesia dalam kacamata Pemerintah Belanda yang dicetak dalam lima edisi. Perpustakaan Medayu Agung memiliki empat edisi asli dan satu edisi fotocopy. "Buku ini adalah induk dari sejarah Indonesia dan hanya dimiliki oleh orang tertentu, karena dicetak sangat terbatas dari pemerintah Belanda untuk pegawai yang bertugas di Indonesia," katanya.

Uniknya, cerita Om Hwie, ketika cetakan ke lima Geschiedenis Van Nederlandsch akan disebarkan di Indonesia, kapal pengangkut yang membawa buku ini dibom oleh pasukan Jepang. Hampir seluruh edisi ke lima hancur. "Anehnya justru Pramoedya Ananta Toer yang punya edisi ke lima, dan saya diberi fotocopyannya," cerita Hwie.

Oei Hiem Hwie adalah satu di antara sedikit orang Indonesia yang punya keperdulian pada buku. Sudah 8000-an judul buku dan kliping koran, majalah serta tabloid dimiliki laki-laki kelahiran Malang, Jawa Timur 65 tahun lalu itu. "Sampai saya kesulitan menyimpan ribuan buku-buku itu, untung saja keluarga tidak protes meskipun harus tidur di atas tumpukan buku-buku," katanya.

DIPENJARA DI PULAU BURU

Keterlibatan Om Hwie pada buku berawal dari perkenalannya dengan dunia jurnalistik pada pertengahan tahun 1950-an. Ketika itu, Oei Hiem Hwie muda coba merintis karir jurnalistik dengan menuntut ilmu di lembaga pelatihan Pro Patria Jogjakarta dan Sumber Pengetahuan (Bandung). Setahun kemudian, melanjutkan studinya di lembaga pelatihan Usaha Modern, Surabaya.

"Semakin mantab niatan saya untuk menjadi wartawan, kebetulan harian Terompet Masyarakat menerima saya sebagai wartawan cabang Malang," kenangnya. Bekerja di Terompet Masyarakat bagaikan menyalurkan sisi idealisme yang selama ini buntu. "Saya cocok dengan koran itu, apalagi motonya, Membela Kaum Kecil Agar Bebas Dari Segala Pengaruh," kata Om Hwie.

Bersamaan dengan itulah, pelan-pelan Om Hwie mulai mengumpulkan buku-buku politik yang diminatinya. Plus, klipingan koran yang pada masa itu sangat beragam. "Kakek dan bapak saya yang juga gemar membaca, menghibahkan semua buku yang dimilikinya, jumlahnya sekitar 2000 buku berhasil saya kumpulkan, karena saya bercita-cita punya perpustakaan," katanya.

Namun, cita-cita itu pupus di tengah jalan, ketika meletus peristiwa Gerakan 30 September. Oei Hiem Hwie, yang ketika itu menjabat sebagai sekretaris Badan Persaudaraan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dinilai sebagai salah satu underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Rumah di orang tua Oei Hiem Hwie di Malang diserbu oleh aparat keamanan yang masyarakat.

Ribuan buku-buku yang sudah dikumpulkan Oei Hiem Hwie pun disita dan dibakar. "Untung beberapa diantaranya berhasil disembunyikan di atap rumah, di gudang dan di beberapa tempay," katanya. Om Hwie pun ditangkap dan dipenjara selama 13 tanpa melalui proses peradilan yang sah. "Saya sempat dipenjara di enam tempat, mulai penjara Batu, Penjara Lowokwaru Malang, Kaliasin, Koblen Surabaya, Pulau Nusakambangan dan terakhir di pulau Buru," kenang Om Hwie.

Di penjara Pulau Buru itulah, Oei Hiem Hwie berkenalan dengan penulis legendaris Pramoedya Ananta Toer. "Saya juga yang membawa tiga bendel naskah Pram yang ditulis di atas kertas semen, hingga akhirnya muncul tetralogi Bumi Manusia," katanya. Tiga belas tahun kemudian, tepatnya tahun 1978 Oei Hiem Hwie dibebaskan.

MEMBANGUN PERPUSTAKAAN

Kembali menghirup udara bebas, membuat Oei Hiem Hwie kembali teringat pada cita-cita lamanya untuk membangun perpustakaan. Buku-buku yang sempat "diselamatkan" ketika rumahnya diserbu, dikumpulkan dan coba ditata. "Sayang, beberapa buku berkualitas seperti buku Peristiwa Percobaan Pembunuhan Bung Karno di Cikini, Percobaan Pembunuhan Bung Karno Saat Idul Adha, Peristiwa Maokar DI/TII, Peristiwa Alan Pope, WNA Yang Membantu PRRI/PERMESTA ikut dibakar," jelas sosok yang gemar bersandal jepit ini.

Cita-cita itu bersambut ketika pemilik toko buku Sariagung dan Gunung Agung, Haji Masagung memintanya menjadi sekretaris pribadi, dan memberi kesempatan pada dirinya untuk mengambil satu buku secara gratis untuk koleksi. "Hampir 7000 judul buku dan kliping berhasil saya kumpulkan sejak bekerja dengan Haji Masagung," jelasnya.

Buku-buku itulah yang akhirnya menjadi sumber utama didirikannya Yayasan Medayu Agung Surabaya di Surabaya Selatan. Tujuh orang intelektual, termasuk ekonom Kresnayana Yahya dan sosilog Dede Oetomo masuk di dalamnya dan bersedia menjadi penyandang dana awal. Sebuah bangunan perpustakaan sederhana yang dibangun dengan dana awal Rp.600 juta pun berdiri dengan tiga ruang utama, Ruang Koleksi Khusus, Koleksi Langka dan Literatur.

Karya-karya Tentang Mantan Presiden Soekarno, Pramoedya Ananta Toer, hingga tulisan tentang pembauran etnis tionghoa di Indonesia. Belum lagi kumpulan buku-buku kuno terbitan tahun 1800-1900 dalam berbagai bahasa asing yang sudah mulai lapuk. "Hampir semuanya dilarang beredar oleh pemerintah, termasuk buku asli Meinkampt karya Adolf Hitler, The Histories Of Java karya Rafles dan Officieel Gedenkboek yang diterbitkan zaman Ratu Willhelmina," jelasnya.

Nama-nama besar seperti Daniel S.Lev dari University of Washington, Benedict Anderson hingga Ketua International Peringatan Cheng Ho ke 600 dari Singapura tercatat pernah mengunjungi perpustakaan itu. "Saya sampai malu, banyak orang besar yang datang ke sini, tapi saya masih menganggap buku-buku yang saya koleksi belum banyak," kata Om Hwie merendah.

Belum lagi, jika mengingat jumlah dana yang semakin lama semakin menipis, termasuk untuk membayar enam pekerja yang setiap hari mendata buku-buku dan media cetak yang setiap hari tidak terbendung. "Jujur saya, sudah banyak prof dan doktor yang menjadikan perpustakaan ini sebagai sumber menjadi referensi secara gratis, tapi justru semakin lama, kami semakin kekurangan uang untuk merawat ribuan buku," jelasnya.***

No comments: