Monday, April 10, 2006

Nurcholish Madjid Ingin Semua Orang Sejahtera

Suara mobil sayup-sayup terdengar dari kejauhan, Senin (29/08) malam itu. Membelah malam di jalan tembusan Desa Mojoanyar dan Banjarrejo, Jombang, Jawa Timur. Puluhan orang peserta doa takziah (melayat) sontak menoleh ke arah datangnya suara, seakan menyambut datangnya mobil yang ditumpangi Muhlisah (60), adik ketiga Alm.Nurcholish Madjid atau Cak Nur.

Ainul Yakin, anak pertama Muhlisah yang juga keponakan Cak Nur sontak berdiri dan menyambut kedatangan sang ibu. Perempuan itu tertatih, merangkul Ainul Yakin dan menangis sesenggukan. "Pakdemu le,..pakdemu,.." kata Muhlisah di sela-sela tangisnya. Ainul Yakin membelai kepala Muhlisah dan memapahnya menuju pintu belakang rumah peninggalan Alm KH. Abdul Madjid, ayahanda Cak Nur. Peserta takziah hanya terdiam, tenggelam dalam doa.

Begitulah penggalan suasana di rumah kelahiran Cak Nur di Jombang ketika The Jakarta Post mengunjungi rumah itu beberapa jam setelah Cak Nur dinyatakan meninggal dunia di RS. Pondok Indah Jakarta Selatan, Senin siang ini. Di rumah seluas 450-an m2 itu, sekitar 70-an orang berkumpul untuk berdoa bagi Cak Nur. "Kepergian Cak Nur sangat mengejutkan," kata Ainul Yakin, keponakan Cak Nur.

Rumah di belakang mushola tempat kelahiran tokoh nasional sekaliber Cak Nur tergolong sederhana. Sebagian dinding rumah itu terbuat dari kayu, sebagian lain ditutupi triplek dan hiasan dinding sederhana. Selembar kelambu kusam yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah. Halaman depan rumah itu menjadi satu dengan halaman mushola.

Halaman itu juga yang digunakan sebagai tempat sholat bila jumlah jamaah tidak tertampung. Sekaligus menjadi lapangan bulu tangkis, tempat pemuda desa itu berolahraga. "Baginilah, meski sederhana, tapi rumah ini yang selalu dirindukan Cak Nur, kalau pas pulang kampung dia selalu minta tidur disini," kata Inul pada The Post.

Wajar bila Cak Nur sangat ingin menikmati masa lalunya. Di rumah itu Cak Nur dibesarkan dengan ketiga saudaranya, Muhlisah, Syaifullah dan M. Adnan. Kesan sederhana itu juga yang dirasakan Mat Cholil, (59) salah satu teman sepermainan Cak Nur ketika kecil. Laki-laki paruh baya yang seluruh rambutnya memutih itu lebih banyak terdiam ketika The Jakarta Post bertanya tentang sahabatnya itu. "Saya tidak tahu, harus bicara apa, semua ini terlalu tiba-tiba," kata Mat Cholil kembali terdiam.

Mat Cholil mengenang, sejak pertama bertemu dengan Cak Nur pada awal tahun 1945, hanya satu hal yang tidak bisa terlupa, kecerdikannya. "Saya heran, bagaimana bisa dia menangkap ikan Gatul dengan cepat dan banyak, eh,..tahunya dia bikin alat seperti jaring dari bambu, dan dipasang di kali yang airnya deras, ketika ada ikan yang berenang ikut arus pasti masuk ke jaring itu," katanya.

Begitu juga ketika anak-anak kecil di jaman itu bermain dengan pesawat terbang kecil bikinan sendiri. Pesawat terbang milik Cak Nur-lah yang berwarna-warni. "Kami sempat terheran, ternyata warna-warna itu diambil dari kapur, batu bata dan blawu (kapur biru)," kenang Cholil. Kecerdikan itu pula yang membuat tokoh kelahiran Jombang, 17 Maret 1939 itu selalu menduduki rangking pertama dalam pendidikannya.

Muhlisah, salah satu adik Cak Nur yang terlihat paling terpukul dengan kematian tokoh pluralis Indonesia itu ingat betul bagaimana kakak tertuanya itu selalu mendorongnya terus bersekolah ketika Muhlisah dipaksa menikah. "Kakak saya yang paling keras menentang keinginan itu, dan mendorong saya untuk terus sekolah," kata perempuan tiga cucu.

Cak Nur pulalah yang akhirnya secara serius mengurus Yayasan Pendidikan Al Huda yang didirikan oleh sang ayah. Puluhan komputer dan alat-alat drum band secara khusus dibelikan oleh lulusan Universitas Chicago AS tahun 1984 itu untuk sekolah yang terletak di samping mushola itu. Dan yang paling monumental, Cak Nur membiayai pembebasan tanah untuk jalan dan jembatan yang menghubungkan Desa Mojoanyar dan Banjarrejo, Jombang.

Sebelum jalan dan jembatan itu ada, anak-anak desa Banjarrejo yang bersekolah di Yayasan Pendidikan Al Huda harus berjalan kaki di pematang sawah, serta menyeberang kali selebar tujuh meter itu. Bahkan, ketika sungai sedang meluap, anak-anak itu harus berjalan memutar sejauh tiga meter. "Cak Nur hanya ingin semua orang sejahtera," kenang Ali Ridho, salah satu tetangga Cak Nur. Selamat jalan Cak Nur.***

No comments: